Sabtu, 17 Januari 2015

Doa Masuk Rumah, Bagaimaan Derajatnya dalam Hadits?

Sudah menjadi aktifitas kita tiap harinya untuk keluar masuk rumah. Semua aktifitas yang dijalankan oleh setiap muslim tentu dibarengi dengan sebuah doa begitu juga jika kita ingin masuk rumah. Dikeluarkan Abu Daud dalam Sunan-nya (5096).

حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْفٍ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيل ، قَالَ : حَدَّثَنِي أَبِي ، قَالَ ابْنُ عَوْفٍ وَرَأَيْتُ فِي أَصْلِ إِسْمَاعِيل ، قَالَ : حَدَّثَنِي ضَمْضَمٌ ، عَنْ شُرَيْحٍ ، عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِذَا وَلَجَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ ، فَلْيَقُلْ : اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَ الْمَوْلَجِ وَخَيْرَ الْمَخْرَجِ ، بِسْمِ اللَّهِ وَلَجْنَا وَبِسْمِ اللَّهِ خَرَجْنَا وَعَلَى اللَّهِ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا ، ثُمَّ لِيُسَلِّمْ عَلَى أَهْلِهِ “

Ibnu ‘Auf menyampaikan hadits kepada kami, Muhammad bin Isma’il menyampaikan hadits kepada kami, ia berkata: ayahku (Isma’il) menyampaikan hadits kepadaku, dan aku juga melihat dalam kitab-nya Isma’il, ia berkata: Dhamdham menyampaikan hadits kepadaku, dari Syuraih, dari Abu Malik Al Asyja’i, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “jika seseorang masuk ke rumahnya, hendaknya ia mengucapkan: Allahumma inni asaluka khayra maulaji, wa khayral makhraji, bismillahi walajna, wa bismillahi khrajna, wa ‘alallahi rabbana tawakkalna (Ya Allah aku memohon kepadamu sebaik-baik tempat masuk dan sebaik-baik tempat keluar. Dengan nama Allah, kami masuk, Dan dengan nama Allah kami keluar. Dan kepada Allah juga lah, wahai Rabb kami, kami bertawakkal). Lalu baru setelah itu mengucapkan salam kepada penghuninya”

Juga dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir (3375) dari Hasyim dari Muhammad bin Isma’il, dan Al Baihaqi dalam Ad Da’awat Al Kabir (407) dari jalan Abu Daud, dengan sanad yang sama.

Derajat hadits
Semua perawi hadits ini tsiqah kecuali Muhammad bin Isma’il dan ayahnya, Isma’il bin ‘Ayyasy.

Mengenai Muhammad bin Isma’il, Abu Zur’ah Ar Razi mengatakan: “ia tidak mengetahui ilmu hadits”. Abu Daud sendiri menyatakan tentangnya: “ia tidak pandai”, bersamaan dengan itu Abu Daud mendiamkan riwayat ini, yang merupakan isyarat bahwa ia menganggap Muhammad bin Isma’il tidak mengapa dan hasan haditsnya.

Namun masalah lainnya, ternyata ia tidak meriwayatkan hadits dari ayahnya dengan sima‘ (mendengar langsung). Abu Hatim menyatakan: “ia tidak mendengar satu hadits pun dari ayahnya”. Ibnu Hajar juga mengatakan: “para ulama mencacatinya karena ia menerima hadits dari ayahnya tanpa sima’”. Padahal Muhammad bin Isma’il menggunakan lafadz ‘haddatsani’ yang pada asalnya dipahami sebagai sima’. Ketika ditanya mengenai kasus Muhammad bin Isma’il ini, Asy Syaikh Al Muhaddits Abdul Muhsin Al Abbad mengatakan:

لا أدري، هل كلمة: “حدثني” المقصود بها أنه سمع منه. -وهذا هو الأصل فيها- أو تجوزاً؟ لكن قد تستعمل: “حدثني” بمعنى: “أخبرني”، وتطلق على العرض الذي هو السماع من الشيخ، ومعلوم أن هذا يعتبر مثل السماع

“aku tidak tahu apakah perkataan ‘haddatsani‘ di sini maksudnya bahwa ia mendengar langsung dari ayahnya (dan ini hukum asalny) ataukah sekedar tajawwuz (kiasan). Namun perkataan ‘haddatsani‘ terkadang bermakna ‘akhbarani‘ (telah mengabarkan kepadaku), dan dimutlakkan kepada bentuk penyampaian yang intinya ada unsur mendengar dari seorang guru. Dan telah diketahui bersama bahwa lafadz ‘akhbarani‘ itu dianggap setara dengan sima’” (web islamlight).

Sehingga tidak ada masalah dengan Muhammad bin Isma’il, terlebih lagi dalam riwayat di atas ia di-mutaba’ah oleh Ibnu ‘Auf, walhamdulillah.

Adapun mengenai Isma’il bin ‘Ayyasy, Ad Daruquthni berkata: “haditsnya mutharib”. Ibnu Khuzaimah berkata: “para ulama tidak berhujjah dengannya”. Waki berkata: “ia mukhtalith dalam meriwayatkan hadits”. Ibnul Jauzi juga mengatakan: “ketika menua, hafalannya berubah. Ia banyak salah dalam meriwayatkan hadits, sedangkan ia sendiri tidak menyadarinya”.

Namun keadaannya ini dikecualikan jika ia meriwayatkan hadits dari perawi ahlus Syam, yang satu negeri dengannya. Al Bukhari mengatakan: “jika ia menyampaikan hadits dari perawi dari negerinya, maka shahih. Namun jika ia menyampaikan hadits dari perawi dari selain negerinya, maka perlu ditinjau”. Ibnu Hajar juga mengatakan: “shaduq jika meriwayatkan hadits dari perawi dari negerinya, dan mukhtalith jika dari selain negerinya”. An Nasa-i mengatakan: “ia shalih dalam riwayat dari ahlus Syam”. Al Hakim juga menyatakan: “riwayatnya dhaif jika selain dari penduduk Syam”. Dan dalam hal ini ia meriwayatkan dari Dhamdham yang termasuk ahlus Syam, walhamdulillah.

Sampai di sini hadits di atas minimalnya hasan. Sebagaimana diisyaratkan oleh Abu Daud ketika mengeluarkan hadits ini tanpa mengomentarinya, juga dihasankan oleh Syaikh Ibnu Baz dalam Hasyiyah Bulughul Maram (771), dan qaul qadim dari Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami (839).

Namun terdapat masalah lain, yaitu apakah Syuraih meriwayatkan hadits dari Abu Malik Al Asy’ari radhiallahu’anhu atau bahkan para sahabat yang lain. Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya menyebutkan Syuraih meriwayatkan hadits dari beberapa sahabat semisal Abud Darda, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abu Dzar, Al Harits bin Al Harits, Abu Malik Al Asy’ari, dan lainnya. Namun ini dibantah oleh Muhammad bin ‘Auf Al Hamshi, yang masih satu negeri dengannya, mengatakan: “ia (Syuraih) tidak pernah mendengar hadits dari Abud Darda’, dan aku menyangka kuat bahwasanya ia tidak pernah mendengar hadits dari sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena ia tidak pernah menyatakan hal itu sedikitpun, padahal ia tsiqah”.

Namun pernyataan ini tidak sepenuhnya benar, karena Syuraih memang meriwayatkan dari beberapa sahabat Nabi. Imam Al Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir berkata: “ia mendengar hadits dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Fadhalah bin Ubaid”. Abu Hatim berkata : “Syuraih tidak pernah bertemu Abu Umamah, Al Harits bin Al Harits dan Al Miqdam”. Abdurrahman bin Abi Hatim juga mengatakan: “aku mendengat ayahku berkata: Syuraih bin Ubaid dari Abu Malik Al Asy’ari secara mursal”. Abu Zur’ah juga mengatakan: “Syuraih bin ‘Ubaid dari Abu Bakr radhiallahu’anhu secara mursal”.

Inilah yang insya Allah lebih kuat, bahwa Syuraih tidak pernah mendengar hadits dari Abu Malik dan tidak pernah meriwayatkan hadits dari Abu Malik kecuali secara mursal. Sehingga terdapat inqitha’ dalam riwayat ini. Syaikh Al Albani dalam takhrij-nya terhadap Al Misykah (2378) mengatakan: “hadits ini shahih sanadnya andaikan tidak ada inqitha‘”. Beliau juga dalam takhrij-nya terhadap Kalimut Thayyib (62) mengatakan: “hadits ini munqathi’”.

Kesimpulannya, hadits ini dhaif (lemah) karena munqathi’. Wallahu a’lam. Artikel Muslim.Or.Id

0 komentar:

Posting Komentar