Senin, 09 Februari 2015

Pertanyaan Ukhuwah Indah Menuju Jannah

Bismillahirahmanirahim "Sungguh tiap mukmin itu bersaudara." Tak usah risau lantaran ukhuwah hanya akibat dari iman. Karena saat kita melemah, saat keakraban kita merapuh. Saat salam terasa menyakitkan, saat kebersamaan serasa siksaan. Saat kebaikan justru melukai. Sesungguhnya yang rusak bukanlah ukhuwah. Tapi iman-iman kita sedang sakit. Mari kita waspai jebakan setan hingga melemahkan keimanan

PERSAHABATAN bukanlah pelangi, yang indah hanya sekejap..
PERSAHABATAN bukan pula matahari, yang menemani 1/2 hari..
PERSAHABATAN adalah HATI yang melekat dalam diri & akan ada dalam jiwa.
PERSAHABATAN bukan pula BULAN yang nampak indah hanya saat PURNAMA 
Ia seperti UDARA yang kita hirup saat terlelap dan terjaga.

Inilah sesungguhnya makna persaudaraan (ukhuwah) yang sebenarnya merupakan konsekuensi sebuah keimanan. Tidak ada persaudaraan (sejati) tanpa keimanan, dan tidak ada keimanan tanpa adanya persaudaraan. Jika kita mendapati suatu persaudaraan yang tidak dilandasi keimanan, maka kita akan mendapati bahwa persaudaraan itu tidak akan membawa kemaslahatan dan manfaat yang saling timbal balik. Subhanallah sekiranya semua sikap dan perasaan tersebut di atas telah dilaksanakan, maka umat yang beriman akan sangat mudah dipersatukan, mempertemukan hati menjadi satu hati.

Ikatan hati hanya akan terwujud dengan kekuatan aqidah dan persaudaraan yang sejati (QS 8:63). Ikatan yang kuat yang berdiri di atas benarnya aqidah inilah yang akan kekal selamanya sampai ke akhirat (QS az-Zukhruf: 67). Persaudaraan (ukhuwah) yang telah dijelaskan di atas itulah yang hakiki. Persaudaraan, persahabatan dan percintaan yang didasarkan di atas kesamaan dan kepahaman aqidah keislaman (QS 49:10-13).

Mendasari ukhuwah. Dari mana kita bermula?
Pada hakikatnya ukhuwah Islamiyah merupakan cahaya Robbani (Minhatun Robbaniyyah), nikmat dari Ilahi (Nikmatun Ilahiyah) [QS 3:103], sekaligus bukti kekuatan keimanan (Quwwatun Imaniyah) [QS 49:10] bagi orang-orang yang ikhlas (mukhlish) dan terus-menerus menambah dan memperbaiki imannya. Dengan ketiga hal di atas, sebuah hubungan persaudaraan akan membekas sampai ke hati yang paling dalam. Bahkan akan mewarnai jiwa secara keseluruhan. Jiwa yang tercelup dalam palung persaudaraan yang paling dalam kukuh dan tak tergoyahkan. Dan celupan persaudaraan (ash-Shibgotul ikhowiyah) yang hanya dapat dibangun di atas dasar keimanan yang dalam. Sehingga hubungan persaudaraan dan persahabatan akan terjalin secara benar, jujur, dan ikhlas. Tanpa keterpaksaan apalagi kesungkanan.

Celupan persaudaraan itu yang akan mempengaruhi: Pertama, sikap atau perilaku yang positif; Kedua, perasaan atau mental yang positif. Maka cerminan ukhuwah akan terlihat jelas seterang matahari dalam Sikap atau perilaku yang selalu menganggap orang lain sebagai saudara (kulukum ikhwanuna); Bersikap lembut kepada mereka (Athifah ilaihim), mereka saling Mencintai karena Allah (Ukhibukum fillah), saling Menghormati (Ihtirom) meski tidak memintanya, dan saling Menaruh kepercayaan (Tsiqoh).

Sedang cermin ukhuwah dalam rasa dan mental tertandai Rasa atau keinginan untuk saling menolong (Taawun), Mendahulukan kepentingan saudaranya (Itsar), Menunjukkan rasa kasih sayang (Rohmah), Saling melengkapi kekurangan saudaranya; sinergis (Takaaful), dan Rasa saling memaafkan (Taafu).

Seperti sekisah Salman al Farisi yang berhasrat melamar wanita sholihah penduduk Madinah. Ia pun kemudian mendatangi sahabatnya penduduk asli Madinah, Abu Darda’ untuk mengkhitbah wanita impiannya. Mendengarnya, Abu Darda’ pun begitu girang. “Subhanallah wa Alhamdulillah,” ujarnya sambil dipeluknya Salman. Salman pun mendatangi rumah sang gadis dengan ditemani Abu Darda’.

Keduanya diterima dengan baik oleh tuan rumah.“Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman dari Persia. Allah telah memuliakan Salman dengan Islam. Salman juga telah memuliakan Islam dengan jihad dan amalannya. Ia memiliki hubungan dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Rasulullah menganggapnya sebagai ahlu bait (keluarga) nya,” ujar Abu Darda’ menggunakan dialek bahasa Arab setempat dengan sangat lancar dan fasih.“Saya datang mewakili saudara saya, Salman, untuk melamar putri anda,” lanjut Abu Darda’ menjelaskan maksud kedatangan mereka.

Mendengarnya, si tuan rumah merasa terhormat, “Sebuah kehormatan bagi kami menerima shabat Rasulullah yang mulia. Sebuah kehormatan pula bagi keluarga kami jika memiliki menantu dari kalangan shahabat,” ujar ayah si wanita. Meski yang datang adalah seorang shahabat Rasul, sang ayah tetap meminta persetujuan sang putri. “Jawaban lamaran ini merupakan hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami,” ujarnya kepada mereka berdua.

Apa jawaban sang putri??
Aha..
Betapa berbangga hati yang bisa berukhuwah. Tapi ada yang lebih jelita lagi, kita memilikinya dalam Minhatun Robbaniyyah. Dalam Nikmatun Ilahiyah. Dalam Quwwatun Imaniyah. Di saat seperti inilah selaksa kerinduan yang tak harap berpisah. Maka pantas saja Al-Faruq, Umar bin Al Khattab pernah melantunkan kata Aku tidak mau hidup lama di dunia yang fana ini kecuali karena tiga hal: keindahan berjihad di jalanNya, repotnya berdiri Qiyamul Lail, dan indahnya bertemu dengan sahabat lama.

Indahnya bertemu dengan sahabat. tentu bukan sahabat yang biasa, tapi sahabat yang senantiasa diliputi keimanan yang kuat, dihiasi dengan kemuliaan akhlak, dan eratnya ukhuwah diantara mereka sebagai buah dari keimanannya. Ada sebuah nasihat dari ibnul Qoyyim Al Jauzi. Ukhuwwah itu hanya sekedar buah dari keimanan kita kepada Allah. Jadi jika ukhuwwahnya bermasalah mari kita evaluasi keimanan kita kepada Nya. Efek dari hubungan baik kita dengan yang ada di langit secara langsung berefek pada baiknya keterhububungan kita dengan bumi.

Dalam sebuah kutipan ada yang mengingatkan pada kita ‪#‎Sebesar‬ cintamu pada Allah, sebesar itu pula cinta orang lain kepadamu. Sebesar ketakutanmu akan murka Allah, sebesar itu pula keseganan orang lain terhadapmu. Sebesar kesibukanmu pada Allah, sebesar itu pula orang lain sibuk untukmu. ''kutipan Al Mughirah''

Begitu juga dalam Ayat Al quran. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (QS. AL HUJURAT:10). Hati yang beriman adalah hati yang jelita disebabkan dalam hati mereka selalu bersambung dengan Allah dan selalu meneladani Rasulullah.

Salim fillah berkata, hati yang jelita itu adalah hati yang selalu mengulurkan rasa cinta pada sesama. Hati mereka selalu tunduk pada Allah dan rasulullah sehingga mudah tunduk pada ukhuwah meski dengan berbagai perbedaan yang ada. Dan rendahkanlah dirimu bila bersama orang mukmin. Kita diminta berendah hati bila kita mau meneladani rasulullah. Karena ketika kita merendah kita tak akan mudah terjatuh. Dan bila sampai terjatuh tak begitu terasa sakit.

Bersebab rasa kesal Abu Dzar al Ghifari pada Bilal yang tak mengerjakan amanah dengan penuh. Bahkan kesan Bilal membesarkan alasannya untuk membenarkan dirinya. Kecewalah Abu Dzar, hingga ia tak bisa menahan diri lalu menghardik Bilal dengan ucapan yang kasar seraya berteriak; "Hai anak budak hitam!!" Rasulullah memerah wajahnya mendengar hardikan Abu Dzar. Bergegas Rasulullah menghampiri Abu Dzar serasa petir di siang bolong, "Engkau!!!" sabda Nabi sambil menunjuk wajah Abu Dzar, "Sungguh dalam dirimu masih terdapat jahiliah!"

Abu Dzar tersungkur bersujud dan memohon Bilal untuk menginjak kepalanya. Di letakan kepalanya di atas tanah berdebu dan dilumpurkannya pasir ke wajahnya berharap Bilal mau menginjaknya. Berulang kali ia memohon. "INJAK kepalaku wahai Bilal!" "INJAK kepalaku wahai Bilal!" "INJAK kepalaku wahai Bilal, demi Allah ku mohon Injaklah!" "Demi Allah ku mohon engkau Injaklah wajahku, aku berharap dengannya Allah akan mengampuniku dan menghapus sifat jahiliah dari jiwaku!"

Berulang ia memohon, tapi Bilal tetap berdiri kukuh. Dia marah bercampur rasa mengharu biru, lalu dia berkata, "Aku memaafkan Abu Dzar, Ya Rasulullah. Dan biarlah urusan ini tersimpan di sisi Allah, menjadi kebaikan bagiku dikemudian hari" Hati pedih abu Dzar mendengarnya, rasa salah yang tak terlupakan sepanjang umur hidupnya.

Begitulah kepiawaian iman mereka saling mengingatkan. Kejelitaan Akhlak yang menghiasi sisi-sisi kehidupan mereka. Bahkan mereka pun selalu siap mengorbankan segala rasa yang tersimpan di dada untuk melanggengkan ukhuwah diantara mereka.

Lima Tingkatan Proses Ukhuwah
"Tentang ukhuwah .... Itulah sejatinya iman kita". Perjuangan Islam tidak akan tegak tanpa adanya ukhuwah islamiyah. Islam menjadikan persaudaraan dalam islam dan iman sebagai dasar bagi aktifitas perjuangan untuk menegakkan agama Allah di muka bumi. Ukhuwah islamiyah akan melahirkan rasa kesatuan dan menenangkan hati manusia. Banyak persaudaraan lain yang bukan karena islam dan persaudaraan itu tidak akan kuat dan kekal. Persaudaraan Islam yang dijalin oleh Allah SWT merupakan ikatan terkuat yang tiada tandingannya. Oleh karena itu untuk mencapai nikmatnya ukhuwah, perlu kita ketahui beberapa proses terbentuknya ukhuwah islamiyah antara lain ada 5 :

1. Taaruf (Saling Mengenal)
Ini adalah tingkatan yang paling dasar dalam ukhuwah. Adanya interaksi dapat lebih mengenal karakter individu. gaya bicara, tingkah laku, pekerjaan, pendidikan, dsb. Selanjutnya interaksi berlanjut ke pengenalan pemikiran (Fikriyyan). Hal ini dilakukan dengan dialog, pandangan terhadap suatu masalah, kecenderungan berpikir, tokoh idola yang dikagumi/diikuti,dll. Dan pengenalan terakhir adalah mengenal kejiwaan (Nafsiyyan) yang ditekankan kepada upaya memahami kejiwaan, karakter, emosi, dan tingkah laku.

2. Tafahum (Saling Memahami)
Proses ini berjalan secara alami. Seperti bagaimana kita memahami kekurangan dan kelebihan saudara kita. Sehingga kita bisa tau apa yang disukai dan tidak disukai. Menempatkan posisi seperti apa bila kita bertutur atau bersamanya dsb.

"Bertutur sapa yang menyejukan hingga jika mampu ringankan bebannya hingga buat dia bahagia. Bahagiamu adalah bahagiaku juga" Mewakili sang putri, ibunya pun berkata, “Mohon maaf kami perlu berterus terang,” ujarnya membuat Salman dan Abu Darda’ tegang menanti jawaban.“Maaf atas keterusterangan kami. Putri kami menolak lamaran Salman,” jawab ibu si wanita tentu saja akan menghancurkan hati Salman. Namun Salman tegar.Tak sampai disitu, sang ibunda melanjutkan jawaban putrinya, “Namun karena kalian berdualah yang datang, dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda’ memiliki keinginan yang sama seperti Salman,” kata ibu si wanita shalihah.

Bagaimana perasaan Salman?? Salman pria shaleh nan mulia dari kalangan shahabat Rasulullah, maka dengan ketegaran hati yang luar biasa, ia justru menjawab, “Allahu akbar!” seru Salman girang. Tak hanya itu, Salman justru menawarkan bantuan untuk pernikahan keduanya. Tanpa perasaan hati yang hancur, ia memberikan semua harta benda yang ia siapkan untuk menikahi si wanita itu. “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan akan kuberikan semua kepada Abu Darda’. Aku juga akan menjadi saksi pernikahan kalian,” ujar Salman dengan kelapangan hati yang begitu hebat.

Bayangkan kita seolah sedang hidup bersama di tengah-tengah mereka. Hamba-hamba Allah yang selalu terhubung dengan langit dan merasakan indahnya ukhuwah dalam kebenaran dan kemuliaan. Maka jika masih ada batas dalam perjalan ukhuwah kita, bisa dipastikan kita telah gagal mengenggam makna ukhuwah yang sebenarnya.

3. Taawun (Saling Menolong)
Lahir dari proses tafahum tadi. Taawun dapat dilakukan dengan hati (saling mendoakan), pemikiran (berdiskusi dan saling menasehati), dan amal (saling Bantu membantu). Saling membantu dalan kebaikan adalah kebahagiaan tersendiri. Karena manusia adalah makhluk sosial yang butuh berinteraksi dan butuh bantuan orang lain.

4. Takaful (Saling Menanggung)
Rasa sedih dan senang diselesaikan bersama. Ketika ada saudara yang mempunyai masalah, maka kita ikut menanggung dan menyelesaikan masalahnya tersebut. Contoh. Ketika saudara kita di gaza butuh. Bantuan,kita bisa menangggung sedikit kebutuhan mereka dari apa yang kita punya

5. Itsar (Mendahulukan orang lain daripada diri sendiri)
Ini adalah tingkatan tertinggi dalam ukhuwah. Tingkatan imannya para sahabat. Banyak hadist yang menunjukkan itsar ini. Seperti ketika dalam suatu perang, salah seorang sahabat sangat kehausan. Kebetulan ia hanya tinggal mempunyai 1 kali jatah air untuk minum. Saat akan meminum nya, terdengar rintihan sahabat lain yang kehausan. Maka air tersebut ia berikan kepada sahabat yang kehausan itu. Saat mau meminumnya terdengar sahabat lain lagi yang merintih kehausan. Kemudian ia berikan air tersebut kepada sahabat itu. Begitu seterusnya sampai air tersebut kembali kepada si pemilik air pertama tadi. Akhirnya semua syahid.

Tidak beriman seseorang diantaramu hingga kamu mencintainya seperti kamu mencintai dirimu sendiri. (HR. Bukhari-Muslim). Betapa indah ukhuwah islamiyah yang diajarkan Alloh dan rosul-Nya. Bila umat islam melakukannya, tentunya terasa lebih manis rasa iman di hati dan terasa indah hidup dalam kebersamaan. Mari kita mulai dari diri kita, keluarga, masyarakat dekat untuk menjalin persaudaraan islam ini.

Oleh: Umar Hidayat, M.Ag.

0 komentar:

Posting Komentar