Mulai dahulu kala sampai sekarang Telah kita ketahui jika makhluk yang diciptakn oleh Allah di bumi ini tidak dapat dihitung jumlahnya. Pada artikel ini kita akan membahas sedikit dari surah Al-Jin ayat 11-13. Dalam firmanNya surat Al Jin ayat 11 Allah Swt berfirman:
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا
“sesungguhnya di antara kami ada yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda”
Faidah:
- Ada jin yang shalih dan ada jin yang tidak shalih, “tidak shalih” di sini mencakup jin yang fasiq, fajir dan kafir.
- Sebagian ulama menafsirkan مِنَّا الصَّالِحُونَ (di antara kami ada yang saleh) yaitu setelah mereka mendapatkan hidayah dari mendengarkan Al Qur’an, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya.
- Jin juga dibebani dengan beban-beban syariat, bukan makhluk yang bebas berbuat sesukannya. Yang taat para ajaran syariat dialah jin yang shalih, yang tidak taat ialah jin yang tidak shalih.
- Kalimat طَرَائِقَ قِدَدًا (jalan yang berbeda-beda) dijelaskan oleh para ulama maknanya dalam dunia jin terdapat firqah yang bermacam-macam dan pemikiran yang bermacam-macam.
- Dalam Tafsir As Sam’ani disebutkan atsar dari Al Hasan Al Bashri bahwa beliau mengatakan:
فِي الْجِنّ قدرية ومرئجة وروافض وخوراج، وَغير ذَلِك من الْفرق، وَفِيهِمْ العَاصِي والمطيع والمصلح، وَغير ذَلِك من الْمُؤمن وَالْكَافِر
“diantara para jin ada yang qadariyah, murji;ah, rafidhah, khawarij dan firqah yang lainnya. Diantara mereka ada yang ahli maksiat, ada pula yang taat, ada pula yang gemar melakukan perbaikan dan berbagai macam model jin yang lain, baik dari kalangan mukmin maupun kafir”
- Perpecahan dan kekelompokkan adalah sunnatullah, suatu hal yang Allah takdirkan pasti terjadi. Bahkan di dunia jin sekalipun. Dan wajib bagi orang yang berpecah belah dan berkelompok-kelompok untuk bersatu di atas Al Qur’an dan Sunnah.
- Di dunia jin pun ada dakwah
Surat Al Jin ayat 12:
وَأَنَّا ظَنَنَّا أَنْ لَنْ نُعْجِزَ اللَّهَ فِي الْأَرْضِ وَلَنْ نُعْجِزَهُ هَرَبً
“Dan sesungguhnya kami mengetahui, bahwa kami sekali-kali tidak akan dapat melepaskan diri (dari kekuasaan) Allah di muka bumi dan sekali-kali tidak (pula) dapat melepaskan diri (daripada) Nya dengan lari”
Faidah:
- الـهَرَبُ artinya الفِرارُ (lari, kabur). Maka, setelah mendapatkan hidayah dari Al Qur’an, telah jelas bagi mereka kekuasaan Allah. Dan telah jelas bagi mereka betapa lemahnya mereka di hadapan Allah dan mereka tidak bisa lari dari kuasa Allah.
-Kata ظَنَنَّا (kami menyangka) di sini maknanya: kami mengetahui dan meyakini. Karena zhan terkadang bermakna yakin dan bermakna ilmu. Tidak sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa zhan itu mutlak bermakna keraguan. Dalam Lisaanul ‘Arab:
الظَّنُّ شك ويقين إلاَّ أَنه ليس بيقينِ عِيانٍ، إنما هو يقينُ تَدَبُّرٍ، فأَما يقين العِيَانِ فلا يقال فيه إلاَّ علم
“zhan bermakna syak (ragu) dan yakin. Namun yakin yang bukan yakin yang dihasilkan atas dasar penglihatan langsung tapi yakin yang dihasilkan dari tadabbur. Adapun yakin yang dihasilkan atas dasar penglihatan langsung maka tidak disebut dengan selain istilah: ilmu”
Dalam Ash Shahhah fil Lughah:
الظَنُّ معروف، وقد يوضع موضع العلم
“azh zhan itu ma’ruf, dan ia terkadang menempati posisi ilmu”
- Jin memiliki qudrah yang tidak dimiliki manusia, semisal bisa terlihat dan bisa tidak, sebagian jin bisa terbang, bisa berjalan di atas air, bisa menempuh jarak jauh dalam waktu singkat, dan yang lainnya. Namun dengan semua itu mereka merasa lemah dan kecil di hadapan Allah, karena mereka mengakui qudrah Allah itu agung dan sempurna.
Surat Al Jin ayat 13:
وَأَنَّا لَمَّا سَمِعْنَا الْهُدَى آمَنَّا بِهِ فَمَنْ يُؤْمِنْ بِرَبِّهِ فَلَا يَخَافُ بَخْسًا وَلَا رَهَقًا
“Dan sesungguhnya kami tatkala mendengar petunjuk (Al Qur’an), kami beriman kepadanya. Barang siapa beriman kepada Tuhannya, maka ia tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan penambahan dosa dan kesalahan”
Faidah:
- Diantara nama dari Al Qur’an adalah Al Huda. Karena Al Qur’an itu menunjukkan kepada shirathal mustaqim (jalan yang lurus).
- Sebagaimana pada ayat 1 dan 2, di sini para jin yang menegaskan bahwa Al Qur’an adalah sebab mereka menjadi beriman. Inilah cara beragama yang benar, mengimani sesuatu karena dalil, mengamalkan sesuatu karena dalil, bukan karena ikut-ikutan, taqlid buta atau karena kebetulan sesuai dengan apa yang diinginkan.
- Sekedar mendengarkan Al Qur’an bisa memberi atsar (pengaruh).
- Sifat orang yang beriman ketika mendengarkan titah dari Rabb-nya atau dari Rasul-Nya, mereka patuh dan taat. Mereka mengatakan “sami’na wa atha’na”, kami mendengar dan kami taati. Berbeda dengan orang yang kurang imannya atau bahkan tidak beriman, ketika titah dari Rabb-nya atau dari Rasul-Nya, mereka tidak mau langsung taat melainkan meragukannya, menundanya, mempertanyakannya, mengkritiknya, atau bahkan menolaknya. Mereka mengatakan “sami’na wa ‘ashayna”, kami mendengar tapi kami langgar.
- البَخْسُ artinya النَّقْصُ (kekurangan). Sedangkan الرَّهَقُ artinya الكذب (kebohongan). Maka, orang yang beriman tidak khawatir sama sekali bahwa ganjaran dari amalan shalih mereka tidak dihitung secara adil. Mereka tidak khawatir pahala mereka kurang dari yang semestinya atau dibohongi oleh Allah sehingga tidak mendapat ganjaran. Atau dengan kata lain, mereka tidak khawatir Allah berbuat zhalim kepada mereka dalam perhitungan pahala.
- Hanya orang yang beriman dengan benar yang memiliki sangkaan baik kepada Allah, dan meyakini bahwa amalan perbuatannya tidak sia-sia dan tidak dizhalimi perhitungannya oleh Allah walau sekecil apa pun amalan tersebut, walau tidak ada yang mengetahui atau memujinya dari kalangan manusia.
- Orang yang imannya kurang atau tidak beriman, mudah berprasangka buruk kepada Allah.
Wallahu a’lam.
Referensi:
Taisir Karimirrahman, Syaikh As Sa’di
Tafsir Ibnu Katsir
Tafsir As Sam’ani
Lisaanul ‘Arab
—
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا
“sesungguhnya di antara kami ada yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda”
Faidah:
- Ada jin yang shalih dan ada jin yang tidak shalih, “tidak shalih” di sini mencakup jin yang fasiq, fajir dan kafir.
- Sebagian ulama menafsirkan مِنَّا الصَّالِحُونَ (di antara kami ada yang saleh) yaitu setelah mereka mendapatkan hidayah dari mendengarkan Al Qur’an, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya.
- Jin juga dibebani dengan beban-beban syariat, bukan makhluk yang bebas berbuat sesukannya. Yang taat para ajaran syariat dialah jin yang shalih, yang tidak taat ialah jin yang tidak shalih.
- Kalimat طَرَائِقَ قِدَدًا (jalan yang berbeda-beda) dijelaskan oleh para ulama maknanya dalam dunia jin terdapat firqah yang bermacam-macam dan pemikiran yang bermacam-macam.
- Dalam Tafsir As Sam’ani disebutkan atsar dari Al Hasan Al Bashri bahwa beliau mengatakan:
فِي الْجِنّ قدرية ومرئجة وروافض وخوراج، وَغير ذَلِك من الْفرق، وَفِيهِمْ العَاصِي والمطيع والمصلح، وَغير ذَلِك من الْمُؤمن وَالْكَافِر
“diantara para jin ada yang qadariyah, murji;ah, rafidhah, khawarij dan firqah yang lainnya. Diantara mereka ada yang ahli maksiat, ada pula yang taat, ada pula yang gemar melakukan perbaikan dan berbagai macam model jin yang lain, baik dari kalangan mukmin maupun kafir”
- Perpecahan dan kekelompokkan adalah sunnatullah, suatu hal yang Allah takdirkan pasti terjadi. Bahkan di dunia jin sekalipun. Dan wajib bagi orang yang berpecah belah dan berkelompok-kelompok untuk bersatu di atas Al Qur’an dan Sunnah.
- Di dunia jin pun ada dakwah
Surat Al Jin ayat 12:
وَأَنَّا ظَنَنَّا أَنْ لَنْ نُعْجِزَ اللَّهَ فِي الْأَرْضِ وَلَنْ نُعْجِزَهُ هَرَبً
“Dan sesungguhnya kami mengetahui, bahwa kami sekali-kali tidak akan dapat melepaskan diri (dari kekuasaan) Allah di muka bumi dan sekali-kali tidak (pula) dapat melepaskan diri (daripada) Nya dengan lari”
Faidah:
- الـهَرَبُ artinya الفِرارُ (lari, kabur). Maka, setelah mendapatkan hidayah dari Al Qur’an, telah jelas bagi mereka kekuasaan Allah. Dan telah jelas bagi mereka betapa lemahnya mereka di hadapan Allah dan mereka tidak bisa lari dari kuasa Allah.
-Kata ظَنَنَّا (kami menyangka) di sini maknanya: kami mengetahui dan meyakini. Karena zhan terkadang bermakna yakin dan bermakna ilmu. Tidak sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa zhan itu mutlak bermakna keraguan. Dalam Lisaanul ‘Arab:
الظَّنُّ شك ويقين إلاَّ أَنه ليس بيقينِ عِيانٍ، إنما هو يقينُ تَدَبُّرٍ، فأَما يقين العِيَانِ فلا يقال فيه إلاَّ علم
“zhan bermakna syak (ragu) dan yakin. Namun yakin yang bukan yakin yang dihasilkan atas dasar penglihatan langsung tapi yakin yang dihasilkan dari tadabbur. Adapun yakin yang dihasilkan atas dasar penglihatan langsung maka tidak disebut dengan selain istilah: ilmu”
Dalam Ash Shahhah fil Lughah:
الظَنُّ معروف، وقد يوضع موضع العلم
“azh zhan itu ma’ruf, dan ia terkadang menempati posisi ilmu”
- Jin memiliki qudrah yang tidak dimiliki manusia, semisal bisa terlihat dan bisa tidak, sebagian jin bisa terbang, bisa berjalan di atas air, bisa menempuh jarak jauh dalam waktu singkat, dan yang lainnya. Namun dengan semua itu mereka merasa lemah dan kecil di hadapan Allah, karena mereka mengakui qudrah Allah itu agung dan sempurna.
Surat Al Jin ayat 13:
وَأَنَّا لَمَّا سَمِعْنَا الْهُدَى آمَنَّا بِهِ فَمَنْ يُؤْمِنْ بِرَبِّهِ فَلَا يَخَافُ بَخْسًا وَلَا رَهَقًا
“Dan sesungguhnya kami tatkala mendengar petunjuk (Al Qur’an), kami beriman kepadanya. Barang siapa beriman kepada Tuhannya, maka ia tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan penambahan dosa dan kesalahan”
Faidah:
- Diantara nama dari Al Qur’an adalah Al Huda. Karena Al Qur’an itu menunjukkan kepada shirathal mustaqim (jalan yang lurus).
- Sebagaimana pada ayat 1 dan 2, di sini para jin yang menegaskan bahwa Al Qur’an adalah sebab mereka menjadi beriman. Inilah cara beragama yang benar, mengimani sesuatu karena dalil, mengamalkan sesuatu karena dalil, bukan karena ikut-ikutan, taqlid buta atau karena kebetulan sesuai dengan apa yang diinginkan.
- Sekedar mendengarkan Al Qur’an bisa memberi atsar (pengaruh).
- Sifat orang yang beriman ketika mendengarkan titah dari Rabb-nya atau dari Rasul-Nya, mereka patuh dan taat. Mereka mengatakan “sami’na wa atha’na”, kami mendengar dan kami taati. Berbeda dengan orang yang kurang imannya atau bahkan tidak beriman, ketika titah dari Rabb-nya atau dari Rasul-Nya, mereka tidak mau langsung taat melainkan meragukannya, menundanya, mempertanyakannya, mengkritiknya, atau bahkan menolaknya. Mereka mengatakan “sami’na wa ‘ashayna”, kami mendengar tapi kami langgar.
- البَخْسُ artinya النَّقْصُ (kekurangan). Sedangkan الرَّهَقُ artinya الكذب (kebohongan). Maka, orang yang beriman tidak khawatir sama sekali bahwa ganjaran dari amalan shalih mereka tidak dihitung secara adil. Mereka tidak khawatir pahala mereka kurang dari yang semestinya atau dibohongi oleh Allah sehingga tidak mendapat ganjaran. Atau dengan kata lain, mereka tidak khawatir Allah berbuat zhalim kepada mereka dalam perhitungan pahala.
- Hanya orang yang beriman dengan benar yang memiliki sangkaan baik kepada Allah, dan meyakini bahwa amalan perbuatannya tidak sia-sia dan tidak dizhalimi perhitungannya oleh Allah walau sekecil apa pun amalan tersebut, walau tidak ada yang mengetahui atau memujinya dari kalangan manusia.
- Orang yang imannya kurang atau tidak beriman, mudah berprasangka buruk kepada Allah.
Wallahu a’lam.
Referensi:
Taisir Karimirrahman, Syaikh As Sa’di
Tafsir Ibnu Katsir
Tafsir As Sam’ani
Lisaanul ‘Arab
—
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar